header

navigation

cari

Selasa, 12 Maret 2019

makalah ibnu sina



BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang.
Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan yang besar dan terorganisir dengan baik. Sama dengan dinasti lainnya dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah didirikan. Namun dalam hal yang mendasar terdapat perbedaan antara Dinasti Umayyah dengan Abbasiyah. Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat International. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu. Disamping itu juga terdapat pernedaan lainnya. Untuk pertama kali dalam sejarah, kekhalifahan, tidak dikaitkan dengan Islam. Spanyol dan Afrika Utara, Oman, Sind, dan bahkan Khurasan tidak sepenuhnya mengakui khalifah baru itu.[1]
Pada masa inilah puncak kejayaan Islam atau Masa Keemasan Islam. Pada masa ini juga terlahir banyak tokoh-tokoh besar seperti : Al-Farabi (Seorang Filosof), Al-Kindi (Sorang Filosof), Ar-Razi (Fiqih dan Filosof), Al-Khawarijmi (Aljabar), Jabir bin Hayan (Kimia), Ibn Haisyam (Alat Optik), Ibn Sina (Kedokteran), Imam Hanafi (Bidang Fiqih), Imam Maliki (Bidang Fiqih), Imam Syafi’I (Bidang Fiqih), Imam Hambali (Bidang Fiqih), yang lebih dikenal dengan Imam 4 Mazhab yang dipakai di seluruh dunia, Ibn Jarir At-Thobari (Bidang Tafsir), Ibn Katsir (Bidang Tafsir) dan masih banyak lagi.
Dalam abad pertengahan sejarah pemikiran filsafat Islam sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan. Metode-metode dan alasan-alasannya yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.[2]
B.   Rumusan Masalah.
1.      Siapakah Ibnu Sina?
2.      Bagaimana pemikirannya tentang wujud, Tuhan, akal, jiwa dan tubuh?
3.      Bagaimana pengetahuanya tentang pengetahuan Tuhan dan teori emanasi?
4.      Bagaimana kontribusi ilmiah dalam ibnu pengetahuan?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Sina.
          Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Isma’ili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah Gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh Ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara. Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismalili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Dia menampilkan suatu pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaianya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Qur’an pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang dia belajar aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoeh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda[3]
Nama lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (±980M). Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah.[4]
            Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu  Ibnu Sina masih berusia 17 tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia brusia 22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M, pada usia 58.[5]
            .Di Bukharaia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagogedan Porphyry, Eucliddan Al-MagestPtolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator -komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[6] Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.[7]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit. Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak  pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.[8]


B. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina.
            1. Filsafat Wujud.
            Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal, namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya  mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan alamiahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para  filsafat Muslim yang disebut ”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau ”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.[9]
          Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1.     Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2.     Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.     Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud kepada wajib  dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[10][38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan.[11]
2. Filsafat Tuhan.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak akan ada. Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang berbunyi:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya : ”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.[12]
Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran. Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah. Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi objek-objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud). Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan (diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu diketahui oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat menjadi planet-planet. Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah malaikat. Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan segala isinya.Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah taqaddum zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta alam.[13]
3. Filsafat Akal.
            Menurut Ibnu Sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu Sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Rumusan Ibnu Sina diambil alih oleh seorang pendeta Domician Albertus Magnus (1206-1280) yang dikemukakan di dunia barat.[14]
Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.[15]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence . Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa
yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[16]
4. Filsafat Jiwa.
            Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan. Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.[13] Jiwa manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
a.       Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul  Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya :
1)      Makan (nutrition)
2)      Tumbuh (Growth)
3)      Berkembang biak (reproduction)
b.      Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1)      Gerak (locomotion),
2)      Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
1)      Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
2)      Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
a)      Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera
b)      Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima  oleh indera bersama
c)      Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
d)     Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari anjing srigala
e)     Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c.        Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
1)      Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan
2)      Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.
            Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.[17]

C.   Karya-Karya Ibnu Sina
1. Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)
2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
3. An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
4. Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
6. Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian ilmu-ilmu rasional.
7. Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika
8. Fiad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus" yakni tentang pemilikan (mimeral).
9. Risalah fi Asab Huduts al-Huruf : risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf – Bidang sastera arab
10. Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia - Bidang syair dan prosa
11. Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. - Cerita-cerita roman fiktif
12. Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik - Bidang politik
13. Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
14. Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan besar buku ini telah hilang.
15. Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.
16. Al Insyaf tentang keadilan sejati.
17. Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan.
18. Sadidiya, tentang kedokteran.
19. Danesh Nameh, tentang filsafat.
20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
            Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya.
            Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
            Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.
            Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).

















DAFTAR PUSTAKA


Hitti, Philip K. History of Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
nama : akhmad ula khabib munir alamat: margosari ,limbangan ,kendal santri mifda