BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dinasti
Abbasiyah merupakan kerajaan yang besar dan terorganisir dengan baik. Sama
dengan dinasti lainnya dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan
intelektual mereka segera setelah didirikan. Namun dalam hal yang mendasar
terdapat perbedaan antara Dinasti Umayyah dengan Abbasiyah. Dinasti Umayyah
terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat
International. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat
orang Arab hanya menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk
kerajaan itu. Disamping itu juga terdapat pernedaan lainnya. Untuk pertama kali
dalam sejarah, kekhalifahan, tidak dikaitkan dengan Islam. Spanyol dan Afrika
Utara, Oman, Sind, dan bahkan Khurasan tidak sepenuhnya mengakui khalifah baru
itu.[1]
Pada
masa inilah puncak kejayaan Islam atau Masa Keemasan Islam. Pada masa ini juga
terlahir banyak tokoh-tokoh besar seperti : Al-Farabi (Seorang Filosof),
Al-Kindi (Sorang Filosof), Ar-Razi (Fiqih dan Filosof), Al-Khawarijmi
(Aljabar), Jabir bin Hayan (Kimia), Ibn Haisyam (Alat Optik), Ibn Sina
(Kedokteran), Imam Hanafi (Bidang Fiqih), Imam Maliki (Bidang Fiqih), Imam
Syafi’I (Bidang Fiqih), Imam Hambali (Bidang Fiqih), yang lebih dikenal dengan
Imam 4 Mazhab yang dipakai di seluruh dunia, Ibn Jarir At-Thobari (Bidang
Tafsir), Ibn Katsir (Bidang Tafsir) dan masih banyak lagi.
Dalam
abad pertengahan sejarah pemikiran filsafat Islam sosok Ibnu Sina dalam banyak
hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga
memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu -
satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang
lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat
muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki
sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang
menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan. Metode-metode dan
alasan-alasannya yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional
murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi
dalam sistem keagamaan Islam.[2]
B. Rumusan Masalah.
1. Siapakah Ibnu Sina?
2. Bagaimana pemikirannya tentang wujud,
Tuhan, akal, jiwa dan tubuh?
3. Bagaimana pengetahuanya tentang
pengetahuan Tuhan dan teori emanasi?
4. Bagaimana kontribusi ilmiah dalam ibnu
pengetahuan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Sina.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) /
980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan
(bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Isma’ili, berasal dari
Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah Gubernur suatu
daerah di salah satu pemukiman Nuh Ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan
juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara.
Meskipun secara tradisional dipengaruhi oleh cabang Islam Ismalili, pemikiran
Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan luar biasa, yang
mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Dia menampilkan suatu
pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaianya /
Child prodigy yang telah menghafal Al-Qur’an pada usia 5 tahun dan juga seorang
ahli puisi Persia. Dari seorang pedagang dia belajar aritmatika, dan dia
memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoeh suatu mata
pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda[3]
Nama
lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370
H (±980M). Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada
masa raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di
kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah.[4]
Menurut sejarah hidup yang disusun
oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil Ibnu Sina telah banyak
mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah
Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu Ibnu Sina masih berusia 17 tahun, ia telah
dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh
Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina
meninggal saat ia brusia 22 tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat
Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai menulis ensiklopedinya tentang ilmu
kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb (The Qanun).
Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk
Ratu Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang
berkuasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi
Menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M, pada
usia 58.[5]
.Di Bukharaia dibesarkan serta
belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh
tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an
seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan
mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagogedan Porphyry,
Eucliddan Al-MagestPtolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama
dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan
bantuan komentator -komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan
ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus
terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati
sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet
thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat
jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi
segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa
dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[6] Sirajuddin Zar menambahkan,
anekdot ini juga dapat diartikan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris
Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi. Dengan istilah lain,
Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah
dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.[7]
Sesudah
itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum
lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran
sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru
kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga
melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit. Ia tidak pernah bosan atau
gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi
kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata
permohonannya itu tidak pernah
dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam
tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang
dihadapinya. Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas
panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih
kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan
dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar
didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal,
perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa
ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari
perpustakaan itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran,
kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan
Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab
kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.[8]
B. Pemikiran Filsafat
Ibnu Sina.
1. Filsafat Wujud.
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina
memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu Sina bahwa Akal Pertama
mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah, dan
sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul
Lighairi dan Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by
virtue of the Necessary Being dan Possible in essence). Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul
akal-akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul
jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul
langit-langit. Walaupun Ibnu Sina memiliki pandangan yang berbeda dari akal,
namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi, tentang wujud Tuhan
bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti
mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang
mutlak, sesuatu dapat mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak
selamanya mutlak satu, karena ia bukan
ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh
Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan
di dunia, inteligensi pertama memunculkan dua kemaujudan, yaitu: pertama,
Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. Kedua,
lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan
alamiahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita
mencapai inteligensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian
banyak para filsafat Muslim yang disebut
”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau
”memberitahukan” materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena
itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.[9]
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang
terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun
essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang
wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal
mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan
bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau
existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan,
essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud,
dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’yaitu sesuatu yang
mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan
boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu
yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam
ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi
tidak ada.
3. Essensi yang tak boleh tidak mesti
mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan
wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud
dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua,
tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa
ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan
mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud
kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu
Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu
(al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan
pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang
berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh
zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan
lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga
Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan
kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib[10][38]. Untuk
menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula
“bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”.
Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum
Zaman.
Dari pendapat tersebut
terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu
Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan
ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan
dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang
tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak
qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam
pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama,
perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah
(hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib
(mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar)
- dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada
bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang
baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah
telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam
pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah
sesudah diciptakan.
Kedua,
perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari
perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan
hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga,
manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud,
keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan
dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam
catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada
Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala
sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia,
akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari
kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada
kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada
perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat,
perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi
wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur
(keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama -
nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan
Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep
Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan
konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai
pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk
memperoleh kesempurnaan.
Dalam
empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu
memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai
“sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan
konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai
“tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti
yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan
alam dengan Tuhan.[11]
2. Filsafat Tuhan.
Menurut
Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara
mutlak. Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur anatomik dalam wujud yang Tunggal.
Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik dengan
eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena
tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan
kata lain, seorang suku Eskimo yang tidak pernah melihat gajah, maka ia
tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa
gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedangkan
adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan
dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian
yang lain pun juga tidak akan ada. Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan
Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak perlu mencari dalil dengan salah
satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ; Wajibul
Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab
(’illat) yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya
sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak
memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan
pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai pembuktian dari
wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang
berbunyi:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي
أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ
بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Artinya : ”Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah
bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu
adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu?”.[12]
Filsafat
emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan
Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa.
Kemudian filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu
yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa Allah menciptakan alam
secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan
informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau
dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan Plotinus sama,
namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa
menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta
yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.
Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan
dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap
zat-Nya yang menjadi pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal
pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama.
Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak
dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi,
roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara,
api, dan tanah. Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib
wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau
dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi objek-objek pemikiran
akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal
(mumkin al-wujud). Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan
(diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul
Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah
tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat)
yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu
diketahui oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah
diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat menjadi
planet-planet. Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan
planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing jiwa
berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa
langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah malaikat.
Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang
bertugas mengatur bumi dan segala isinya.Sejalan dengan filsafat emanasi, alam
ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi,
tentu saja Ibn Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang
mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak
didahului oleh zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi
sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty).
Sementara Allah adalah taqaddum zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta
alam.[13]
3. Filsafat Akal.
Menurut Ibnu Sina akal merupakan
suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal
manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk
mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua
pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham
ke-Tuhanan. Ibnu Sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran)
membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Rumusan Ibnu Sina diambil alih
oleh seorang pendeta Domician Albertus Magnus (1206-1280) yang dikemukakan di
dunia barat.[14]
Dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi.
Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah
Jibril.[15]
Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible
in essence . Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemkiran
tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib
wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin
wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala
apa
yang terdapat di bawah
Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada
garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a. Akal materiil yang
semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun
sedikitpun.
b. Intelectual in
habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
c. Akal actuil, yang
telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu
akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu
pada daya upaya.[16]
4. Filsafat Jiwa.
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa
manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari
badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang sesuai dan
dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat
pada badan. Pendapatnya juga searah dengan Aristoteles, Ibnu Sina menekankan
eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua kecenderungan pemikiran
Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di yakininya
sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu
bersesuaian merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak
menggunakan dualismenya untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan
kebetulan tentang hubungan jiwa raga. Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara
pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas nonbadan, jiwa, yang
berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.[13] Jiwa manusia ,
sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari
Akal kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya :
1) Makan (nutrition)
2) Tumbuh (Growth)
3) Berkembang biak (reproduction)
b. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah),
yakni meliputi bebrapa daya;
1) Gerak (locomotion),
2) Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi
lagi menjadi dua bahagian :
1) Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal
kharij) dengan pancaindera.
2) Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad
dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
a) Indera bersama yang menerima segala apa
yang dirangkap oleh pancaindera
b) Representasi yang menyimpan segala apa
yang diterima oleh indera bersama
c) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan
dalam representasi,
d) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal
abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan lari bagi kambing dari
anjing srigala
e) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak
yang diterima oleh estimasi.
c. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah)
meliputi dua daya ;
1) Praktis (practical) yang hubungannya
adalah dengan badan
2) Teoritis (theoritical) yang hubungannya
adalah dengan hal-hal abstrak.
Dengan
demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) yang
mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai Malaikat dan
dekat pada kesempurnaan. Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia sadar
bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam
disiplin ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa
pertanyaan yang berkaitan dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana
para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu
Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh Ibnu Sina
dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab
sejak abad 10 M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi
dan Masehi terutama tokoh-tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong
Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Duns Scotf, serta berhubungan
dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.[17]
C. Karya-Karya Ibnu Sina
1. Qanun fi Thib (Canon
of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)
2. Asy Syifa (terdiri
dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
3. An Nayyat (Book of
Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
4. Al-Majmu : berbagai
ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
5. Isaguji (The
Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
6. Fi Aqsam al-Ulum
al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian
ilmu-ilmu rasional.
7. Ilahiyyat (Ilmu
ketuhanan) : Bidang metafizika
8. Fiad-Din yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus"
yakni tentang pemilikan (mimeral).
9. Risalah fi Asab
Huduts al-Huruf : risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf – Bidang sastera
arab
10. Al-Qasidah al-
Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia - Bidang syair dan prosa
11. Risalah ath-Thayr :
cerita seekor burung. - Cerita-cerita roman fiktif
12. Risalah as-Siyasah
: (Book on Politics) – Buku tentang politik - Bidang politik
13. Al Mantiq, tentang
logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
14. Uyun Al Hikmah (10
jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa kemungkinan
besar buku ini telah hilang.
15. Al Hikmah El
Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.
16. Al Insyaf tentang
keadilan sejati.
17. Al Isyarat Wat
Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan.
18. Sadidiya, tentang
kedokteran.
19. Danesh Nameh,
tentang filsafat.
20. Mujir. Kabir Wa
Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
21. Salama wa Absal,
Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Dari
uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan
al-Farabi mengenai filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari
Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya.
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa
tumbuhan atau hewan mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai
binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka
orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut
Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan).
Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar
segala yang ada.
Tuhan
adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
DAFTAR
PUSTAKA
Hitti, Philip K.
History of Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar