Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku
keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai
gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan
menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di
pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan
mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya
sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai
menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran
yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani
seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai.
Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan
besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang
bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan
dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya
benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi
sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri
hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah
satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk.
Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut
proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur
tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri
meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk.
Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan
Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang
telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan
dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan.
Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa
hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain,
misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti
santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan
ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu
berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras.
Hari Ngrowot Nasional
Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke
lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas
masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca:
perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat
solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot
nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari
tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot
Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan
kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa
konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan
kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada
beras.
Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa
dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari
masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional
itu?
Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar
mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias
Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural,
sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan
tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka
belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot
menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup,
dan belajar ilmu agama.
Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga
bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar
melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah
ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi
“Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang
ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal
sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada
di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga.
Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa.
Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu
hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan
dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga
NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti
yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada
1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan
Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000).
Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan
secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya
mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang
dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay)
sulit dilakukan.
Teologi Pangan
Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut
saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas
sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka
Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda
(suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa
Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan.
Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu,
beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu,
bangsa Indonesia.
Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke
ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan
pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat,
terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas
diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman.
Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis
diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan
teologi pangan ala NU.[]
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar