header

navigation

cari

Selasa, 05 April 2016

Ngrowot, dan Falsafah

   Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]


Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a
Menjalani laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Itulah ngrowot. Sebagai gantinya, ubi-ubian terutama jagung, ubi kayu, ubi jalar, tales-talesan menjadi menu utama hidangan. Tradisi ngrowot biasanya berlangsung di pesantren-pesantren salaf. Disebut salaf karena para santri diwajibkan mendaras kitab-kitab karya ulama salaf. Laku ngrowot dijalankan biasanya sebagai bagian dari rukun belajar. Misalnya saat seorang santri mulai menghafalkan atau mempelajari suatu kitab tertentu. Tidak ada ukuran yang sama dan pasti seberapa lama durasi ngrowot yang harus dijalani seorang santri. Semuanya tergantung dawuh (perintah) sang kyai. Selama ini tradisi ngrowot dilihat oleh masyarakat di luar pesantren—dan besar kemungkinan oleh santri itu sendiri—hanya semata-mata ritual yang bertalian dengan hal-hal yang bersifat gaib, magis, tidak terjelaskan dengan deskripsi. Anggapan itu tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Laku ngrowot ternyata juga memiliki makna yang berdimensi sosial-ekonomi sekaligus tasawuf (aqidah personal). Yaitu agar santri hidupnya tidak tergantung pada beras (nasi). Karena beras menjadi salah satu jenis makanan yang paling banyak memerlukan campur tangan makhluk. Secara khusus hujatul Islam, Imam Ghazali pernah menelitinya, menyangkut proses dari benih hingga menjadi nasi yang ternyata memerlukan campur tangan/bantuan banyak orang. Nah, dengan ngrowot berarti para santri meniadakan, minimal mengurangi ketergantungan terhadap makhluk. Sekaligus memahamkan kepada santri bahwa bahan makan yang diberikan Tuhan itu banyak sekali, tidak hanya beras. Dengan begitu, santri yang telah selesai menjalankan laku ngrowot, akan bertambah tebal keimanan dan keyakinan terhadap kehendak dan kuasa Tuhan. Sedangkan yang berdimensi sosial-ekonomi, dengan ngrowot santri bisa hidup hemat. Ada uang makan yang bisa ditabung untuk kebutuhan lain, misalnya untuk membeli kitab. Selain itu sikap hemat tersebut, berarti santri telah membantu orangtua mereka. Serta mensubsidi kebutuhan ekonomi adik-adiknya yang masih menjadi tanggungan orangtua. Subsidi itu berupa beras. Atau uang yang semula akan dibelikan beras. Hari Ngrowot Nasional Dengan demikian filosofi tradisi ngrowot kalau saja mau dibawa ke lapangan kehidupan yang lebih luas, bisa menjadi alternatif solusi atas masalah klasik dan klise negeri ini: ketahanan pangan (baca: perberasan). Bisa menjadi sebuah gerakan sosial tidak saja bersifat solutif, tapi juga transformatif. Misalnya melalui gerakan ngrowot nasional. Taruhlah dalam setahun, dipilih satu hari saja menjadi hari tidak makan nasi. Sebut saja hari itu misalnya, sebagai Hari Ngrowot Nasional. Gerakan ini dapat menjadi ”mesin pengingat” untuk menyegarkan kembali ingatan kita, bahwa ada banyak bahan pangan altenatif yang bisa konsumsi, yang tidak kalah dengan beras. Baik rasa, maupun kandungan kalori. Sehingga, sebagai warga bangsa, kita tidak tergantung lagi pada beras. Lantas bagaimana hitung-hitungan ekonominya sehingga ngrowot bisa dikatakan memiliki manfaat bersifat transformatif? Siapakah bagian dari masyarakat kita yang paling potensial melakukan gerakan ngrowot nasional itu? Bagian dari kelompok masyarakat yang paling punya kemungkinan besar mengeksekusi gerakan ngrowot nasional adalah warga Nahdliyin alias Nahdlatul Ulama (NU). Apa pasal? Karena secara psikologis, kultural, sekaligus keagamaan, warga NU hampir tidak punya resistensi dengan tradisi ngrowot itu. Meskipun katakanlah sebagian besar dari mereka belum pernah melakukan, paling tidak mereka telah menganggap ngrowot menjadi bagian yang lazim dan sah dari laku ibadah, keprihatinan hidup, dan belajar ilmu agama. Melalui para alim ulama dan kyai atau secara struktural organisasi juga bisa, NU dapat mengeluarkan fatma untuk para warga Nahdliyin agar melakukan aksi ngrowot nasional. Sense of urgency fatwa ngrowot adalah ketergantungan yang terlalu dalam terhadap beras. Sehingga beras menjadi “Tuhan baru”. Pemerintah sering melakukan impor beras, yang ujung-ujungnya justru membuat banyak petani padi menderita. Padahal sebagian besar petani padi, jika tidak bisa disebut seluruhnya, berada di desa. Dan mereka adalah warga Nahdliyin juga. Katakanlah jumlah warga NU sekarang—ini angka konservatif—70 juta jiwa. Jika untuk 9 piring nasi (tiga kali makan untuk tiga orang dalam satu hari) memerlukan 1kg beras. Satu hari saja ngrowot, maka beras yang akan dihemat secara nasional 23,4juta kg atau 234.000 ton! Jika setiap warga NU mau puasa nasi di hari senin dan kamis, bukan puasa betulan seperti yang disunahkan Rasul Muhammad Saw., maka pada satu bulan saja ada 1.872.000 ton beras yang bisa dihemat. Atau equivalen dengan Rp9.360.000.000 (harga perkilogram Rp5.000). Jika melihat hasil hitung-hitungan di atas, ngrowot yang dilakukan secara masif dapat menjadi salah satu alternatif solusi—setidaknya mengurangi beban—persoalan ketahanan pangan bangsa ini. Paling kurang dari sisi permintaan (demand) jika upaya menaikan produksi (sisi suplay) sulit dilakukan. Teologi Pangan Gerakan ngrowot nasional selaku bagian dari bentuk—untuk sementara sebut saja—teologi pangan itu, juga bisa dimaknai sebagai upaya memperluas sekaligus membumikan makna falsafah ketidakseragaman bangsa ini, Bhineka Tungga Ika. Sesanti itu lebih sering diartikan: meskipun berbeda-beda (suku, agama, budaya, kewilayahan, pulau), tetapi tetap satu, bangsa Indonesia. Namun jarang yang menghubungkannya dengan bahan pangan. Misalnya dengan ungkapan: meskipun berbeda-beda (bahan pangan: sagu, beras, tela, jagung, singkong, kentang, jagung, tales) tapi tetap satu, bangsa Indonesia. Artinya tidak masalah jika falsafah ketidakseragaman itu di bawa ke ranah paling mikro sekalipun, meja makan. Karena membahas persoalan pangan yang note bene hanya berkisar pada masalah sumber karbohidrat, terang Prof. Sjamsoe’oed Sadjad (2000), sebenarnya dapat tuntas diselesaikan kalau kita juga mempertahankan budaya ketidakseragaman. Nah pada titik itu, ngrowot bisa dibaca sebagai bentuk praksis diversifikasi pangan yang berbasis pada falsafah ketidakseragaman dan teologi pangan ala NU.[]

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/agusirkham/nu-ngrowot-dan-falsafah-ketidakseragaman_55176d38a333117807b65e2a

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
nama : akhmad ula khabib munir alamat: margosari ,limbangan ,kendal santri mifda